BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sengketa adalah
hal yang terjadi antara dua pihak atau lebih, karena adanya salah satu pihak
yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak yang
bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian
sengketa yang dikehendaki. Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa tersebut
dapat melaui perdamaian.
Penyelesain
sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Pada umumnya jangka
waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal
ada ketulusan hati dari kedua belah pihak. Selain itu biayanya pun sangat
murah.
Untuk
penjelasan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa melalui perdamaian,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum, keuntungan,
sifat, persyaratan formal putusan perdamaian dan kekuatan hukum akta
perdamaian.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dan dasar hukum penyelesaian sengketa melalui perdamaian?
2.
Apa
keuntungan penyelesaian sengketa melalui perdamaian?
3.
Apa
persyaratan formal putusan pengadilan?
4.
Bagaimana
kekuatan hukum akta perdamaian?
C.
Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami penyelesaian sengketa
melalui perdamaian berupa pengertian,
dasar hukum, keuntungan, sifat, persyaratan formal putusan pengadilan dan
kekuatan hukum akta perdamaian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian
Dalam suatu
sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat diupayakan untuk
perdamaian.[1]
Perdamaian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang berselisih dengan
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah
timbulnya suatu perkara.[2]
Pengertian perdamian tersebut seperti yang dikemukakan dalam Pasal 1851:
“Perdamaian
adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau
menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang
diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat
secara tertulis.”[3]
Perdamaian dapat dilakukan di luar pengadilan dan di
dalam pengadilan. Perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan biasanya meminta
bantuan teman atau sahabat atau pak lurah. Sedang yang menyangkut perdamaian di
dalam pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG. Pasal ini mengatakan:
1.
Apabila
pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka pengadilan
dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.
2.
Jika
perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta perdamaian yang
mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu; akta
perdamian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan yang
biasa.
3.
Terhadap
putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.[4]
Selain itu, dalam
PERMA No. 1 Tahun 2002 juga dinyatakan bahwa hakim berkewajiban mendorong para
pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian baik pada awal
persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.[5] Hal
ini senada Pasal 65 dan 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang hal yang berhubungan dengan perceraian, mekemukakan bahwa
hakim wajib mendamaikan para pihak yang berpekara sebelum putusan dijatuhkan.
Usaha hakim mendamaikan pihak-pihak yang berpekara itu dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan.[6]
B.
Keuntungan
Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian
Penyelesaian perkara melalui perdamaian, apakah itu dalam bentuk
mediasi, konsiliasi, expert determination, atau mini trial mengadung
berbagai keuntungan subtansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya:
1.
Penyelesaian Bersifat Informal
Penyelesaian melaui pendekatan nurani, bukan
berdasarkan hukum. Kedua belah pihak melepaskan diri dari kekuan istilah hukum
(legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhikan
pendekatan doktrin dan asas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling
menguntungkan.
2.
Yang Menyelesaikan Sengketa Para Pihak Sendiri
Penyelesaian tidak diserahkan kepada kemauan
dan kehendak hakim atau abiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri
sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal yang
sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalah.
3.
Jangka Waktu Penyelesaian Pendek
Pada umumnya jangka waktu peneyelsaian hanya
satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan
kerendahan hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya disebut bersifat speedy
(cepat), antara 5-6 minggu.
4.
Biaya Ringan
Boleh dikatakan, tidak diperlukan biaya. Meskipun
ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem
peradilan atau arbitase, harus mengeluarkan biaya mahal (very ecpensive).
5.
Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial
Hal ini yang perlu dicatat, penyelesaian
melalui perdamaian, benar-benar bersifat rahasia atau konfidensial:
a.
Penyelesaian tertutup untuk umum,
b.
Yang tahu hanya mediator, konsiliator atau
advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian.
Dengan demikian, tetap terjaga nama baik para
pihak dalam pergaulan masyarakat. Tidak demikian penyelesaian melauli
pengadilan. Persidangan terbuka untuk umum yang dapat menjatuhkan martabat
seseorang.
6.
Hubungan Para Pihak Bersifat Kooperatif
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian
adalah hati nurani, tejalin penyelesaian berdasarkan kerja sama, mereka tidak
menabuh genderang perang dalam permusuhan atau antagonisme, tetaou dalam
persaudaraan dan kerja sama. Masing-masing menjatuhkan dendam dan permusuhan.
7.
Komunikasi dan Fokus Penyelesaian
Dalam penyelesaian perdamaian terwujud
komunikasi aktif antara para pihak. Dalam komunikasi itu, terpancar keinginan
memperbaiki perselisihan dan kesalahan masa lalu menuju hubungan yang baik
untuk masa depan. Jadi melalui komunikasi itu, apa yang mereka selesaikan bukan
masa lalu (not the past) tapi untuk masa yang akan datangan (for the future).
8.
Hasil yang Dituju Sama Menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam
penyelesaian perdamaian, dapat dikatakan sangat luhur:
a.
Sama-sama menang yang disebut konsep win-win
solution, dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah, mau menang
sendiri,
b.
Dengan demikian, tidak ada yang kalah dan tidak
ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui
putusan pengadilan atau arbitrase.
9.
Bebas Emosi dan Dendam
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian,
meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak, ke arah suasana bebas emosi
selama berlangsung penyelesaian maupun setelah penyelesaian dicapai. Tidak
diikuti dendam dan kebencian, tetapi rasa kekeluaragaan dan persaudaraan.[7]
C.
Persyaratan
Formal Putusan Perdamaian
Mengenai syarat formil putusan perdamaian tidak hanya merujuk
kepada ketentuan Pasal 130 dan 131 HIR, tetapi juga kepada ketentuan lain
terutama yang diatur dalan BAB XVIII, Buku Ketiga KUH Perdata (Pasal
1851-1864). Sehubungan dengan itu, akan dibahas hal-hal sebagai berikut:
1. Persetujuan Perdamaian Mengakhiri
Perkara
Syarat yang pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri
perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal.
Perdamaian harus membawa para pihak terlepas dari seluruh sengketa. Tidak ada
lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan
penyelesaiannya didalam perjanjian. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam
kesepakatan, putusan perdamaian yang dikukuhkan dalam bentuk penetapan akta
perdamaian mengandung cacat formil, karena bertentangan dengan persyaratan yang
ditentukan Pasal 1851 KUH Perdata.
Oleh karena itu, jika syarat ini dihubungkan dengan proses mediasi
yang digariskan PERMA No. 2 Tahun 2003, hakim harus benar-benar memperhatikan
hal tersebut, pada saat diminta pengukuhan menjadi akta perdamaian. Sekiranya
para pihak ternyata tidak mengakhiri sengketa yang diperkarakan secara tuntas,
hakim dapat menolak mengukuhkannya menjadi akta perdamaian.
2. Persetujuan Perdamaian Berbentuk
Tertulis
Syarat formil kedua yang digariskan Pasal 1851 KUH Perdata,
mengenai bentuk persetujuan:
a.
Harus berbentuk akta tertulis:
1).
Boleh akta dibawah tangan (onderhandse acte), yang
ditandatangani kedua belah pihak.
2).
Dapat juga berbentuk akta otentik.
b.
Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan
(oral).
c.
Setiap persetujuan perdamaian yang tidak dibuat
secara tertulis, dinyatakan tidak sah.
Ancaman ini, secara tegas dinyatakan dalam pasal 1851 ayat (2) KUH
Perdata:
Persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis.
Memperhatikan ketentuan tersebut, undang-undang melarang menerima persetujuan
perdamaian yang disampaikan secara lisan oleh para pihak. Tidak dibenarkan
persetujuan secara lisan untuk dikukuhkan lebih lanjut dalam penetapan akta
perdamaian. Tentang hal ini, Pasal 11 ayat (1) PERMA sudah sejalan dengan Pasal
130 HIR dan Pasal 1851 KUH Perdata, yang mengharuskan kesepakatan wajib
merumuskan secara tertulis.
3. Pihak yang Membuat Persetujuan
Perdamaian adalah Orang yang Mempunyai Kekuasaan
Syarat ini berkatan dengan ketentuan perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 ke-2 Jo. Pasal 1330 KUH Perdata. Meskipun Pasal 1320 KUH Perdata
mempergunakan istilah tidak cakap dan Pasal
1852 istilah tidak mempunyai kewenangan, maksudnya sama yaitu yang bertindak
membuatnya, tidak mempunyai kekuasaan untuk itu (unauthorized), disebabkan yang
bersangkutan tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in
judicio.
Secara umum yang digolongkan orang yang tidak cakap atau tidak
berkuasa membuat persetujuan berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata, terdiri atas:
a. Orang yang belum dewasa, dan
b. Orang yang berada di bawah
pengampuan.
Namun, yang dimaksud dengan orang yang tidak mempunyai kekuasaan
membuat perdamaian, lebih luas dari itu. Meliputi badan hukum yang belum
mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM, dianggap tidak memiliki
kekuasaan membuat persetujuan perdamaian atas nama Perseroan (PT) yang
bersangkutan. Sebagai contoh Putusan MA No. 1944 K/Pdt/1991 menegaskan, suatu
akta perdamaian yang disepakati penggugat dan tergugat dalam sengketa gugatan
perdata di PN, kemudian kesepakatan itu disahkan hakim dengan jalan menuangkan
atau mengukuhkan dalam putusan akta perdamaian, apabila kemudian ternyata di
dalam akta itu terdapat eror in persona, perjanjian perdamaian itu berdasarkan
Pasal 1859 KUH Perdata, tidak sah karena terdapat kekhilafan mengenai pihaknya.
Akibat hukumnya persetujuan itu tidak dapat dijadikan dasar melaksanakan
eksekusi. Ternyata, AD perseroan tersebut belum disahkan oleh Menteri
Kehakiman, oleh karena itu, perseroan tersebut belum mempunyai status badan
hukum. Dengan demikian yang harus ditarik sebagai tergugat mesti seluruh
pengurus sebagai individu. Kalau begitu kesepakatan perdamaian yang harus
ditarik sebagai tergugat mesti seluruh pengurus sebagai individu. Kalau begitu
kesepakatan perdamaian yang dibuat antara penggugat dengan atas nama perseroan
tidak sah, karena peseroan tidak mempunyai kekuasaan untuk itu, karena yang
berkuasa adalah seluruh pengurus perseroan.
4. Seluruh Pihak yang Terlibat dalam
Perkara Ikut dalam Persetujuan Perdamaian
Syarat formil yang lain yang ikut terlibat dalam persetujuan tidak
boleh kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang bertindak
sebagai penggugat dan orang yang ditarik sebagai tergugat, mesti seluruhnya
ikut ambil bagian sebagai pihak dalam persetujuan perdamaian.[8]
D.
Kekuatan
Hukum Akta Perdamaian
Seperti yang
telah disebutkan sebelumya bentuk perdamaian harus tertulis. Syarat ini
sifatnya memaksa, jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan
dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang. Akta perdamaian harus
dibuat tertulis sesuai dengan format
yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.
Apabila
ditinjau dari segi bentuk persetujuan perdamaian yang dihubungkan dengan
tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri, maka dapat dibedakan
dua bentuk persetujuan perdamaian, yaitu putusan perdamaian dan akta perdamaian.
Putusan perdamaian,
yaitu apabila pihak-pihak yang bersengketa mengadakan perdamaian terhadap suatu
masalah yang disengketakan mereka membuat akta perdamaian secara tertulis. Lalu
para pihak bersengketa memohon kepada Majelis Hakim agar persetujuan perdamaian
itu dikukuhkan dalam suatu keputusan.
Sedang suatu
persetujuan disebut berbentuk akta perdamaian, jika persetujuan perdamaian
terjadi tanpa campur tangan pengadilan
atau hakim. Apa yang disengketakan para pihak sudah atau belum diajukan sebagai
gugatan ke pengadilan. Jika sengketa sudah sampai kepengadilan, kemudian di
luar campur tangan pengadilan para pihak pergi ke notaris untuk membuat
persetujuan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, atas dasar itu pula para
pihak mencabut perkara yang sudah diajukan ke pengadilan dan para pihak tidak
meminta pengukuhan persetujuan perdamaian itu dalam bentuk putusan perdamaian,
maka persetujuan perdamaian itu disebut akta perdamaian.
Putusan
perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan perdamaian melekat
kekuatan eksekutorial, sedangkan pada akta perdamaian tidak melekat kekuatan
eksekutorial.[9]
Kekuatan hukum yang melekat pada putusan perdamaian (penetapan akta peradamaian)
diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 (2) dan (3) HIR yaitu:
1. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUH
Perdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim
yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat
(2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
2. Mempunyai kekuatan eksekutorial.
Dalam kalimat akhir Pasal 130 ayat (2) HIR juga menegaskan putusan akta perdamaian berkekuatan eksekutorial
sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
3. Putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding.
Dalam hal putusan akta perdamaian
tidak dapat dibanding ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta
perdamaina tidak dapat dibanding.
Terhadap putusan yang berkuatan hukum tetap, telah berakhir segala upaya hukum. Demikian halnya dengan putusan akta perdamaian, selain dipersamakan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, undang-undang sendiri yang menegaskan bahwa terhadapnya
tidak bisa diajukan banding.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perdamaian
adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang berselisih dengan mana kedua
belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya
suatu perkara. Penyelesaian
perkara melalui perdamaian, mengadung berbagai keuntungan subtansial dan
psikologis, yang terpenting di antaranya yaitu: penyelesaian bersifat informal;
yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri; jangka waktu penyelesaian pendek;
biaya ringan; proses penyelesaian bersifat konfidensial; hubungan para pihak
bersifat kooperatif; komunikasi dan fokus penyelesaian; dll.
Syarat formil putusan perdamaian yaitu: persetujuan perdamaian
mengakhiri perkara; persetujuan perdamaian berbentuk tertulis; pihak yang
membuat persetujuan perdamaian adalah orang yang mempunyai kekuasaan; seluruh
pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan perdamaian.
Adapun mengenai
kekuatan hukum akata perdamaian, kekuatan putusan perdamaian berbeda dengan
akta perdamaian. Pada putusan perdamaian melekat kekuatan eksekutorial,
sedangkan pada akta perdamaian tidak melekat kekuatan eksekutorial. Kekuatan
hukum yang melekat pada putusan perdamaian (penetapan akta peradamaian) ini
diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 (2) dan (3) HIR.
[1]
Moh. Taufik
Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT R(Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2004), h. 61.
[2] Sophar Maru
Hutagalung, Peraktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 313.
[3] Soedharyo
Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2001), h.457.
[4] Moh. Taufik
Makaro, Pokok-pokok Hukum ..., h. 61.
[5]
Sophar Maru
Hutagalung, Peraktik Peradilan Perdata ..., h. 362.
[6] Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 152.
[7]
M.Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata, (Jakarta:Sinar Grafika,2015), h.236-238.
[8] M.Yahya
Harahap, Hukum Acara ..., h.275-276.
[9] Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata ..., h. 157-159.
[10] M.Yahya
Harahap, Hukum Acara ..., h.279-280.
semoga tulisan ini bermanfaat bagai para pembaca :)
BalasHapusthanks informasinya :)
BalasHapusEvolution Gaming - Casino Online
BalasHapusEvolution Gaming 여수 op 사이트 is a leading provider of high-quality casino software. Learn more about the company's gaming products, games, Provider: Evolution Gaming, 온라인 바카라 사이트 iGaming, Live CasinoTop Rank: 사이트추천 Best Casinos & User Experience: 5 · 2,997 바카라 시스템 배팅 votes 블랙 잭 만화