Kamis, 28 April 2016

penyelesaian sengketa melalui perdamaian



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sengketa adalah hal yang terjadi antara dua pihak atau lebih, karena adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki. Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa tersebut dapat melaui perdamaian.
Penyelesain sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan hati dari kedua belah pihak. Selain itu biayanya pun sangat murah.
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa melalui perdamaian, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum, keuntungan, sifat, persyaratan formal putusan perdamaian dan kekuatan hukum akta perdamaian.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dan dasar hukum penyelesaian sengketa melalui perdamaian?
2.      Apa keuntungan penyelesaian sengketa melalui perdamaian?
3.      Apa persyaratan formal putusan pengadilan?
4.      Bagaimana kekuatan hukum akta perdamaian?
C.     Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami penyelesaian sengketa melalui perdamaian  berupa pengertian, dasar hukum, keuntungan, sifat, persyaratan formal putusan pengadilan dan kekuatan hukum akta perdamaian.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian
Dalam suatu sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat diupayakan untuk perdamaian.[1] Perdamaian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang berselisih dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.[2] Pengertian perdamian tersebut seperti yang dikemukakan dalam Pasal 1851:
Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.[3]
Perdamaian  dapat dilakukan di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan biasanya meminta bantuan teman atau sahabat atau pak lurah. Sedang yang menyangkut perdamaian di dalam pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG. Pasal ini mengatakan:
1.      Apabila pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.
2.      Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu; akta perdamian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan yang biasa.
3.      Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.[4]
Selain itu, dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 juga dinyatakan bahwa hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.[5] Hal ini senada Pasal 65 dan 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang hal yang berhubungan dengan perceraian, mekemukakan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang berpekara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha hakim mendamaikan pihak-pihak yang berpekara itu dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.[6]
B.     Keuntungan Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian
Penyelesaian perkara melalui perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determination, atau mini trial mengadung berbagai keuntungan subtansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya:
1.      Penyelesaian Bersifat Informal
Penyelesaian melaui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua belah pihak melepaskan diri dari kekuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhikan pendekatan doktrin dan asas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan.
2.      Yang Menyelesaikan Sengketa Para Pihak Sendiri
Penyelesaian tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau abiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalah.
3.      Jangka Waktu Penyelesaian Pendek
Pada umumnya jangka waktu peneyelsaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya disebut bersifat speedy (cepat), antara 5-6 minggu.
4.      Biaya Ringan
Boleh dikatakan, tidak diperlukan biaya. Meskipun ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan atau arbitase, harus mengeluarkan biaya mahal (very ecpensive).
5.      Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial
Hal ini yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian, benar-benar bersifat rahasia atau konfidensial:
a.       Penyelesaian tertutup untuk umum,
b.      Yang tahu hanya mediator, konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian.
Dengan demikian, tetap terjaga nama baik para pihak dalam pergaulan masyarakat. Tidak demikian penyelesaian melauli pengadilan. Persidangan terbuka untuk umum yang dapat menjatuhkan martabat seseorang.
6.      Hubungan Para Pihak Bersifat Kooperatif
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, tejalin penyelesaian berdasarkan kerja sama, mereka tidak menabuh genderang perang dalam permusuhan atau antagonisme, tetaou dalam persaudaraan dan kerja sama. Masing-masing menjatuhkan dendam dan permusuhan.
7.      Komunikasi dan Fokus Penyelesaian
Dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif antara para pihak. Dalam komunikasi itu, terpancar keinginan memperbaiki perselisihan dan kesalahan masa lalu menuju hubungan yang baik untuk masa depan. Jadi melalui komunikasi itu, apa yang mereka selesaikan bukan masa lalu (not the past) tapi untuk masa yang akan datangan (for the future).
8.      Hasil yang Dituju Sama Menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam penyelesaian perdamaian, dapat dikatakan sangat luhur:
a.       Sama-sama menang yang disebut konsep win-win solution, dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah, mau menang sendiri,
b.      Dengan demikian, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui putusan pengadilan atau arbitrase.
9.      Bebas Emosi dan Dendam
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian, meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak, ke arah suasana bebas emosi selama berlangsung penyelesaian maupun setelah penyelesaian dicapai. Tidak diikuti dendam dan kebencian, tetapi rasa kekeluaragaan dan persaudaraan.[7]
C.     Persyaratan Formal Putusan Perdamaian
Mengenai syarat formil putusan perdamaian tidak hanya merujuk kepada ketentuan Pasal 130 dan 131 HIR, tetapi juga kepada ketentuan lain terutama yang diatur dalan BAB XVIII, Buku Ketiga KUH Perdata (Pasal 1851-1864). Sehubungan dengan itu, akan dibahas hal-hal sebagai berikut:
1.      Persetujuan Perdamaian Mengakhiri Perkara
Syarat yang pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal. Perdamaian harus membawa para pihak terlepas dari seluruh sengketa. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya didalam perjanjian. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan, putusan perdamaian yang dikukuhkan dalam bentuk penetapan akta perdamaian mengandung cacat formil, karena bertentangan dengan persyaratan yang ditentukan Pasal 1851 KUH Perdata.
Oleh karena itu, jika syarat ini dihubungkan dengan proses mediasi yang digariskan PERMA No. 2 Tahun 2003, hakim harus benar-benar memperhatikan hal tersebut, pada saat diminta pengukuhan menjadi akta perdamaian. Sekiranya para pihak ternyata tidak mengakhiri sengketa yang diperkarakan secara tuntas, hakim dapat menolak mengukuhkannya menjadi akta perdamaian.
2.      Persetujuan Perdamaian Berbentuk Tertulis
Syarat formil kedua yang digariskan Pasal 1851 KUH Perdata, mengenai bentuk persetujuan:
a.       Harus berbentuk akta tertulis:
1).    Boleh akta dibawah tangan (onderhandse acte), yang ditandatangani kedua belah pihak.
2).    Dapat juga berbentuk akta otentik.
b.      Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan (oral).
c.       Setiap persetujuan perdamaian yang tidak dibuat secara tertulis, dinyatakan tidak sah.
Ancaman ini, secara tegas dinyatakan dalam pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata:
Persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis. Memperhatikan ketentuan tersebut, undang-undang melarang menerima persetujuan perdamaian yang disampaikan secara lisan oleh para pihak. Tidak dibenarkan persetujuan secara lisan untuk dikukuhkan lebih lanjut dalam penetapan akta perdamaian. Tentang hal ini, Pasal 11 ayat (1) PERMA sudah sejalan dengan Pasal 130 HIR dan Pasal 1851 KUH Perdata, yang mengharuskan kesepakatan wajib merumuskan secara tertulis.
3.      Pihak yang Membuat Persetujuan Perdamaian adalah Orang yang Mempunyai Kekuasaan
Syarat ini berkatan dengan ketentuan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 ke-2 Jo. Pasal 1330 KUH Perdata. Meskipun Pasal 1320 KUH Perdata mempergunakan istilah tidak cakap dan         Pasal 1852 istilah tidak mempunyai kewenangan, maksudnya sama yaitu yang bertindak membuatnya, tidak mempunyai kekuasaan untuk itu (unauthorized), disebabkan yang bersangkutan tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in judicio.
Secara umum yang digolongkan orang yang tidak cakap atau tidak berkuasa membuat persetujuan berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata, terdiri atas:
a.       Orang yang belum dewasa, dan
b.      Orang yang berada di bawah pengampuan.
Namun, yang dimaksud dengan orang yang tidak mempunyai kekuasaan membuat perdamaian, lebih luas dari itu. Meliputi badan hukum yang belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM, dianggap tidak memiliki kekuasaan membuat persetujuan perdamaian atas nama Perseroan (PT) yang bersangkutan. Sebagai contoh Putusan MA No. 1944 K/Pdt/1991 menegaskan, suatu akta perdamaian yang disepakati penggugat dan tergugat dalam sengketa gugatan perdata di PN, kemudian kesepakatan itu disahkan hakim dengan jalan menuangkan atau mengukuhkan dalam putusan akta perdamaian, apabila kemudian ternyata di dalam akta itu terdapat eror in persona, perjanjian perdamaian itu berdasarkan Pasal 1859 KUH Perdata, tidak sah karena terdapat kekhilafan mengenai pihaknya. Akibat hukumnya persetujuan itu tidak dapat dijadikan dasar melaksanakan eksekusi. Ternyata, AD perseroan tersebut belum disahkan oleh Menteri Kehakiman, oleh karena itu, perseroan tersebut belum mempunyai status badan hukum. Dengan demikian yang harus ditarik sebagai tergugat mesti seluruh pengurus sebagai individu. Kalau begitu kesepakatan perdamaian yang harus ditarik sebagai tergugat mesti seluruh pengurus sebagai individu. Kalau begitu kesepakatan perdamaian yang dibuat antara penggugat dengan atas nama perseroan tidak sah, karena peseroan tidak mempunyai kekuasaan untuk itu, karena yang berkuasa adalah seluruh pengurus perseroan.
4.      Seluruh Pihak yang Terlibat dalam Perkara Ikut dalam Persetujuan Perdamaian
Syarat formil yang lain yang ikut terlibat dalam persetujuan tidak boleh kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang bertindak sebagai penggugat dan orang yang ditarik sebagai tergugat, mesti seluruhnya ikut ambil bagian sebagai pihak dalam persetujuan perdamaian.[8]
D.    Kekuatan Hukum Akta Perdamaian
Seperti yang telah disebutkan sebelumya bentuk perdamaian harus tertulis. Syarat ini sifatnya memaksa, jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang. Akta perdamaian harus dibuat tertulis sesuai dengan format  yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.
Apabila ditinjau dari segi bentuk persetujuan perdamaian yang dihubungkan dengan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri, maka dapat dibedakan dua bentuk persetujuan perdamaian, yaitu putusan perdamaian dan akta perdamaian.
Putusan perdamaian, yaitu apabila pihak-pihak yang bersengketa mengadakan perdamaian terhadap suatu masalah yang disengketakan mereka membuat akta perdamaian secara tertulis. Lalu para pihak bersengketa memohon kepada Majelis Hakim agar persetujuan perdamaian itu dikukuhkan dalam suatu keputusan.
Sedang suatu persetujuan disebut berbentuk akta perdamaian, jika persetujuan perdamaian terjadi  tanpa campur tangan pengadilan atau hakim. Apa yang disengketakan para pihak sudah atau belum diajukan sebagai gugatan ke pengadilan. Jika sengketa sudah sampai kepengadilan, kemudian di luar campur tangan pengadilan para pihak pergi ke notaris untuk membuat persetujuan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, atas dasar itu pula para pihak mencabut perkara yang sudah diajukan ke pengadilan dan para pihak tidak meminta pengukuhan persetujuan perdamaian itu dalam bentuk putusan perdamaian, maka persetujuan perdamaian itu disebut akta perdamaian.
Putusan perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan perdamaian melekat kekuatan eksekutorial, sedangkan pada akta perdamaian tidak melekat kekuatan eksekutorial.[9] Kekuatan hukum yang melekat pada putusan perdamaian (penetapan akta peradamaian) diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 (2) dan (3) HIR yaitu:
1.      Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2.      Mempunyai kekuatan eksekutorial.
Dalam kalimat akhir Pasal 130 ayat (2) HIR juga menegaskan putusan akta perdamaian berkekuatan eksekutorial sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
3.      Putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding.
Dalam hal putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta perdamaina tidak dapat dibanding.
Terhadap putusan yang berkuatan hukum tetap, telah berakhir segala upaya hukum. Demikian halnya dengan putusan akta perdamaian, selain dipersamakan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, undang-undang sendiri yang menegaskan bahwa terhadapnya tidak bisa diajukan banding.[10]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perdamaian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang berselisih dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Penyelesaian perkara melalui perdamaian, mengadung berbagai keuntungan subtansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya yaitu: penyelesaian bersifat informal; yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri; jangka waktu penyelesaian pendek; biaya ringan; proses penyelesaian bersifat konfidensial; hubungan para pihak bersifat kooperatif; komunikasi dan fokus penyelesaian; dll.
Syarat formil putusan perdamaian yaitu: persetujuan perdamaian mengakhiri perkara; persetujuan perdamaian berbentuk tertulis; pihak yang membuat persetujuan perdamaian adalah orang yang mempunyai kekuasaan; seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan perdamaian.
Adapun mengenai kekuatan hukum akata perdamaian, kekuatan putusan perdamaian berbeda dengan akta perdamaian. Pada putusan perdamaian melekat kekuatan eksekutorial, sedangkan pada akta perdamaian tidak melekat kekuatan eksekutorial. Kekuatan hukum yang melekat pada putusan perdamaian (penetapan akta peradamaian) ini diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 (2) dan (3) HIR.


[1] Moh. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT R(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h. 61.
[2] Sophar Maru Hutagalung, Peraktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 313.
[3] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h.457.
[4] Moh. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum ..., h. 61.
[5] Sophar Maru Hutagalung, Peraktik Peradilan Perdata ..., h. 362.
[6] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 152.
[7] M.Yahya Harahap,  Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Sinar Grafika,2015), h.236-238.
[8] M.Yahya Harahap,  Hukum Acara ..., h.275-276.
[9] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata ..., h. 157-159.
[10] M.Yahya Harahap,  Hukum Acara ..., h.279-280.

3 komentar:

  1. semoga tulisan ini bermanfaat bagai para pembaca :)

    BalasHapus
  2. Evolution Gaming - Casino Online
    Evolution Gaming 여수 op 사이트 is a leading provider of high-quality casino software. Learn more about the company's gaming products, games, Provider: Evolution Gaming, 온라인 바카라 사이트 iGaming, Live CasinoTop Rank: 사이트추천 Best Casinos & User Experience: 5 · ‎2,997 바카라 시스템 배팅 votes 블랙 잭 만화

    BalasHapus